RDP di DPRD Kotabaru, Bupati Desak Pencabutan atas Pembatalan Sertifikat Eks Transmigrasi


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kotabaru menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama unsur eksekutif, perusahaan, dan perwakilan masyarakat untuk membahas konflik penguasaan lahan transmigrasi serta pengalihan aliran sungai di Kecamatan Pulau Laut Timur. Rapat berlangsung tegang dan penuh dinamika pada Senin, 17 November 2025, di Ruang Rapat Paripurna DPRD Kotabaru.

RDP dipimpin Ketua DPRD Hj. Suwanti, didampingi Wakil Ketua I Awaludin, S.Hut, dan Wakil Ketua II Hairil Anwar. Hadir pula Bupati H. Muhammad Rusli, S.Sos., Wakil Bupati Syairi Mukhlis, anggota dewan dari berbagai komisi, sejumlah kepala SKPD, BPN Kotabaru, BPN Provinsi melalui Zoom Meeting, serta jajaran PT Sebuku Coal Group (SSC) sebagai pihak perusahaan terkait.

Rapat ini turut melibatkan organisasi masyarakat seperti Pemuda Tani Indonesia, ARUN (Advokasi Rakyat Untuk Nusantara), dan HMI, yang sejak awal aktif mengawal persoalan lahan transmigrasi dan dampak lingkungan di Pulau Laut Timur.

Perwakilan masyarakat Pulau Laut Timur, didampingi ARUN, menyampaikan keluhan keras terkait dugaan pembatalan ratusan Sertifikat Hak Milik (SHM), penguasaan lahan cadangan negara oleh perusahaan, hingga pengalihan aliran sungai yang dinilai berdampak pada permukiman dan lahan pertanian.

Masyarakat menyoroti beberapa persoalan utama :
1. Hilangnya fasilitas umum di kawasan transmigrasi, seperti sekolah, lapangan, rumah ibadah, hingga kantor desa.
2. Pengalihan aliran sungai yang dinilai tidak mempertimbangkan pemukiman dan tidak melibatkan kajian teknis menyeluruh.
3. Pembatalan SHM secara administratif tanpa proses hukum yang jelas, sehingga menimbulkan ketidakpastian hak atas tanah.
4. Tawaran ganti rugi sangat rendah dari perusahaan, yakni Rp5.000 per meter jauh di bawah permintaan warga sebesar Rp. 56.000 per meter.

“Rp. 5.000 itu harga satu ikat kacang panjang. Bagaimana mungkin tanah bersertifikat diminta dilepas dengan nilai seperti itu?” tegas salah seorang warga.

Bupati Kotabaru H. Muhammad Rusli menegaskan bahwa polemik lahan transmigrasi merupakan persoalan lama yang harus dituntaskan dengan keberpihakan kepada masyarakat.

“Sertifikat adalah dokumen negara. Kalau sudah terbit lalu dibatalkan, ini membuat warga takut mengurus sertifikat ke depannya,” ujarnya.

Bupati menyatakan mendukung pencabutan pembatalan sertifikat dan memastikan hak masyarakat harus dilindungi negara.

Wakil Bupati Syairi Mukhlis juga mempertanyakan pernyataan BPN bahwa sertifikat dibatalkan secara administratif tetapi hak perdata warga belum dihapus.

“Kalau dibatalkan, ya dibatalkan. Kalau tidak dihapus, ya jangan dihapus. Ini membingungkan masyarakat,” ungkap Syairi.

Perwakilan Dinas Transmigrasi Provinsi, Muhammad Rahmadi, memaparkan sejarah kawasan transmigrasi Bekambit dan Rawa Indah.
Ia membawa dokumen peta asli dan menyebutkan:

Ada tiga desa yang masuk kawasan transmigrasi .
1. Total luas 4.400 hektare, lebih dari 2.000 hektare sudah menjadi permukiman dan fasilitas publik.
2. Sisanya merupakan lahan cadangan negara.
3. Sertifikat hak milik seharusnya terbit lima tahun setelah pembinaan, sehingga pembatalannya wajib didasari alasan hukum kuat.

Perwakilan BPN Kotabaru menjelaskan bahwa pembatalan sekitar 700 SHM pada 2019 dilakukan oleh pejabat terdahulu. Mereka kini hanya menindaklanjuti dokumen yang sudah ada.

BPN memaparkan, Pembatalan mengikuti mekanisme internal lembaga. Mediasi Juni 2025 gagal karena perbedaan harga antara masyarakat (Rp. 56.000/m²) dan perusahaan (Rp. 5.000/m²). BPN mengusulkan mediasi lanjutan dengan pendampingan lembaga resmi agar lebih objektif. Namun pernyataan ini mendapat kritik dari DPRD karena dinilai belum menyentuh inti persoalan hukum pembatalan SHM.

Anggota DPRD Hj. Alfisah menilai akar masalah terletak pada praktik ganti rugi masa lalu yang tidak melibatkan pemerintah, sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan.

Perwakilan PT SSC  Karan akhirnya memberikan jawaban bahwa pemindahan sungai dilakukan berdasarkan izin resmi DPMPTSP, rekomendasi teknis PUPR, dan telaah Dinas Lingkungan Hidup.

Terkait lahan, perusahaan mengklaim mengikuti prosedur berdasarkan pembatalan SHM oleh BPN.
Namun mereka tidak memberikan penjelasan rinci mengenai mekanisme ganti rugi, dasar kepemilikan di atas lahan cadangan negara, maupun alasan permohonan pembatalan yang diduga menjadi pemicu polemik.

Menutup rapat, Bupati meminta agar BPN Kanwil Provinsi Kalsel dipanggil secara resmi untuk rapat lanjutan tanpa kehadiran massa agar pembahasan lebih fokus pada dasar hukum dan penyelesaian.

“Permasalahan ini menyangkut hak masyarakat dan wibawa negara. Harus diselesaikan secara jelas dan tuntas,” tegas Bupati.

DPRD merangkum beberapa poin penting :
1. Pembatalan ratusan SHM masih belum menemukan dasar hukum yang tegas.
2. Pengalihan aliran sungai memerlukan verifikasi lapangan dan kajian teknis ulang.
3. Pertemuan lanjutan bersama BPN Provinsi akan dijadwalkan.
4. Mediasi harga tanah antara warga dan perusahaan akan dibuka kembali.
5. DPRD menegaskan akan mengawal hak warga agar tidak terabaikan. (Gusti Mahmuddin Noor)
Lebih baru Lebih lama



HUT GUB KALSEL
Iklan

نموذج الاتصال