Oleh: Joko Priyono S.Pd., Gr.
Pernahkah kita berpikir bahwa pelajaran olahraga di sekolah bisa menjadi jembatan
antara masa lalu yang penuh kearifan dan masa depan yang berkelanjutan? Di tengah
derasnya arus globalisasi, pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (PJOK) sebenarnya
memiliki potensi besar untuk menjadi ruang pembentukan karakter sosial dan ekologis. Di
sinilah tubuh, budaya, dan alam seharusnya kembali bertemu. Sayangnya, selama ini PJOK
sering hanya dipandang sebagai pelajaran fisik belaka padahal, jika dirancang dengan tepat,
PJOK bisa menjadi wadah untuk menanamkan kesadaran keberlanjutan.
Mari kita mulai dari hal yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat: permainan
tradisional. Di banyak daerah, permainan rakyat seperti Balogo, Bakiak, atau Egrang Lumpur
lahir dari interaksi manusia dengan alam sekitarnya. Di Kalimantan, Balogo dimainkan di
tanah berlumpur menggunakan tempurung kelapa, sebuah simbol dari kearifan lokal yang
sederhana tapi sarat makna. Gerakan, alat permainan, dan kebersamaan dalam permainan itu
adalah bentuk nyata pendidikan karakter tanpa perlu ceramah.
Anak-anak yang bermain Balogo tidak hanya belajar ketangkasan, tapi juga
kesabaran, kerja sama, dan sportivitas. Mereka belajar menjaga ritme dan menyesuaikan diri
dengan kondisi alam. Lumpur yang licin justru menjadi guru: mengajarkan keseimbangan,
kehati-hatian, dan keluwesan. Semua nilai ini adalah bagian dari kebijaksanaan lokal yang
seharusnya diintegrasikan ke dalam pembelajaran PJOK.
Ironisnya, di banyak sekolah, permainan tradisional kini hanya muncul saat lomba 17
Agustus. Selebihnya, anak-anak disibukkan dengan permainan digital atau olahraga modern
yang tak punya keterkaitan dengan lingkungan sosial mereka. Padahal, permainan tradisional
bukan hanya tentang masa lalu; ia adalah bentuk pendidikan karakter yang hidup, dinamis,
dan kontekstual. UNESCO bahkan menegaskan bahwa permainan rakyat termasuk dalam
warisan budaya takbenda yang perlu dijaga. Jadi, menghidupkan permainan tradisional bukan
sekadar romantisme nostalgia, tapi bagian dari strategi pendidikan berkelanjutan.
Guru PJOK seharusnya bisa menjadi pelestari nilai-nilai itu. Mereka bisa mengaitkan
kegiatan olahraga dengan tradisi lokal. Misalnya, di daerah pesisir, guru dapat
memperkenalkan lomba dayung tradisional atau berenang di air alami sambil menjelaskan
pentingnya menjaga ekosistem perairan. Di daerah pedalaman, bisa dihidupkan kembali lari
lumpur, balap egrang, atau permainan yang melatih keseimbangan di lahan basah. Dengan
cara ini, tubuh anak-anak kembali terhubung dengan lingkungan hidupnya, dan budaya lokal
menjadi bagian dari pelajaran sehari-hari.
Tak kalah penting dari warisan budaya, alam juga seharusnya menjadi bagian dari
ruang belajar PJOK. Lahan basah adalah salah satu ekosistem paling kaya di bumi, namun
juga paling rentan rusak. Di sana air disimpan, udara disaring, dan banyak spesies bergantung
untuk bertahan hidup. Sayangnya, pembangunan yang tidak bijak telah mengubah banyak
lahan basah menjadi kawasan permukiman dan industri. Anak-anak kita tumbuh tanpa
mengenal tanah tempat mereka berpijak.
PJOK bisa menjadi media pembelajaran ekologi yang efektif. Bayangkan jika
pelajaran olahraga tidak selalu dilakukan di lapangan beton, tapi di alam terbuka: di tepi
rawa, di jalan setapak, atau di sekitar danau. Anak-anak berlari bukan sekadar untuk mencatat
waktu tercepat, tapi untuk memahami bagaimana tubuh mereka berinteraksi dengan alam.
Guru bisa menyelipkan cerita tentang bagaimana akar mangrove menahan abrasi atau
bagaimana air gambut menyimpan karbon. Aktivitas fisik berubah menjadi pengalaman
belajar yang membekas.
Selain itu, kegiatan olahraga juga bisa menjadi aksi nyata untuk menjaga bumi.
Gerakan plogging lari sambil memungut sampah bisa menjadi kegiatan rutin sekolah.
Bayangkan anak-anak berlari sambil membawa kantong sampah, membersihkan sungai atau
taman kota. Mereka bukan hanya melatih otot, tapi juga menumbuhkan empati lingkungan.
Sebuah kebugaran yang tak hanya bermanfaat bagi tubuh, tetapi juga bagi bumi.
Di daerah yang rawan banjir, PJOK bisa berperan dalam pelatihan kesiapsiagaan.
Siswa bisa diajarkan keterampilan dasar seperti berenang di arus, menggunakan pelampung
alami, atau membuat rakit sederhana. Keterampilan ini bukan hanya berguna dalam situasi
darurat, tetapi juga memperkuat hubungan manusia dengan air sesuatu yang menjadi bagian
penting dari kehidupan di lahan basah.
Jika dua nilai ini budaya dan ekologi dipadukan dalam pembelajaran PJOK, hasilnya
akan luar biasa. Sekolah tidak hanya melahirkan siswa yang bugar secara fisik, tetapi juga
berkarakter kuat dan peduli lingkungan. Anak-anak memahami bahwa menjaga alam sama
pentingnya dengan menjaga diri sendiri. Mereka sadar bahwa tradisi yang diwariskan leluhur
punya hubungan erat dengan keseimbangan ekosistem.
Bayangkan jika setiap sekolah di sekitar lahan basah mengadakan Festival Olahraga
Alam dan Budaya. Selama seminggu, siswa berkompetisi dalam permainan tradisional,
kegiatan kebersihan lingkungan, dan olahraga berbasis alam. Setiap gerakan menjadi
perayaan akan kehidupan perayaan tubuh, tradisi, dan bumi yang memberi mereka napas.
Kegiatan seperti ini akan membentuk kebanggaan dan rasa memiliki yang kuat terhadap
lingkungan dan budaya mereka.
Keterlibatan masyarakat juga bisa diperluas. Orang tua, tokoh adat, dan pemerhati
lingkungan dapat diundang untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan lokal. Sekolah
menjadi ruang kolaborasi antara generasi dan komunitas. Di sini, anak-anak tidak hanya
belajar dari buku atau guru, tetapi juga dari alam dan masyarakat sekitarnya. Ini adalah
bentuk pendidikan yang hidup, membumi, dan berakar.
Pendidikan jasmani yang terintegrasi dengan nilai budaya dan ekologi bisa menjadi
gerakan sosial baru. Ia bukan lagi sekadar mata pelajaran yang menilai kecepatan atau
kekuatan, tetapi gerakan yang menumbuhkan kesadaran kolektif. Tubuh yang sehat
seharusnya menjadi alat untuk berbuat baik: membantu sesama, menjaga budaya, dan
melindungi alam.
Melalui PJOK, anak-anak dapat belajar bahwa kebugaran bukan hanya urusan
individu. Ia terkait dengan tanggung jawab sosial dan ekologis. Tubuh yang terlatih bukan
hanya untuk berkompetisi, tapi untuk melayani kehidupan. Ketika anak-anak memahami hal
ini, mereka tumbuh menjadi generasi yang tangguh, bukan hanya dalam menghadapi ujian
sekolah, tapi juga tantangan zaman.
Gerak adalah bahasa pertama manusia. Sebelum kita bisa berbicara, kita sudah belajar
bergerak merangkak, berdiri, berjalan. Gerak adalah cara manusia memahami dunia.
Sayangnya, di era modern, gerak sering kehilangan maknanya. Ia direduksi menjadi rutinitas:
pemanasan, lari, nilai. Padahal, di balik setiap langkah, ada potensi untuk belajar tentang
kehidupan.
Sudah waktunya PJOK kembali ke akar: ke permainan rakyat, ke alam, dan ke nilai-
nilai kebersamaan. Karena di sanalah inti pendidikan sesungguhnya: membentuk manusia
yang sadar diri, sadar lingkungan, dan sadar budaya. Anak-anak yang berlari di lumpur,
bermain Balogo, atau menanam mangrove di tepi sungai bukan hanya belajar olahraga, tetapi
belajar menjadi manusia yang utuh.
Ketika tubuh, budaya, dan alam kembali bersatu di ruang belajar, maka pendidikan
tidak lagi sekadar transfer ilmu, melainkan proses pembentukan peradaban. PJOK yang
hidup, kontekstual, dan berakar seperti inilah yang akan melahirkan generasi masa depan
yang bukan hanya kuat dan sehat, tapi juga penuh empati, tanggung jawab, dan cinta pada
bumi tempat mereka berpijak.
Tentang penulis:
Joko Priyono, S.Pd., Gr- Mahasiswa Magister Pendidikan Jasmani pada Universitas Lambung Mangkurat; dan Guru PJOK SD Islam Terpadu Baiturrahman

