Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terbebasnya massa rakyat pekerja
Terciptanya tatanan masyarakat
Sosialis sepenuhnya
Marilah kawan, mari kita kabarkan
Di tangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah kawan, mari kita nyanyikan
Sebuah lagu tentang pembebasan
Begitulah lirik asli lagu berjudul "Pembebasan". Sebagian pihak lebih mengenalnya lagu berjudul "Buruh Tani". Lagu ini semacam pemantik adrenalin bagi aktivis mahasiswa dan buruh ketika demonstrasi.
Gelombang demonstrasi dan massa aksi saat penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Kota Banjarmasin pun menyisipkan lagu ini sebagai pengobar perlawanan. Lagu itu bergaung saat pergolakan Reformasi 1997.
Lagu ini diciptakan oleh Syafi’i Kemamang. Lahir dengan nama Arifin pada 5 Juni 1976 di Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur, Safi’i Kemamang kini menetap di negara Timor Leste -- bekas Provinsi Timor Timur. Ia pergi ke Timor Leste sejak negara itu resmi lepas dari Indonesia pada 2002.
Safi’i sejatinya lahir tahun 1974. Namun karena dokumen akte lahir dan alasan lain, maka tahun lahir Safi’i ditulis1976. “Akhirnya tetap memakai tahun 1976,” kata Safi’i Kemamang kepada banjarhits.com, Jumat (27/11/2020).
Ada hal yang unik dari pergantian nama ke Safi’i Kemamang. Ia mendapat cerita dari kakeknya semasa hidup. Saat masih bernama Arifin, kakeknya melihat sosok Safi’i kecil sering sakit-sakitan. Menurut Safi’i, kakeknya penganut kejawen.
“Sebagai orang Jawa, dan kakek saya masih percaya dengan ajaran-ajaran Jawa (Kejawen). Kakek percaya bahwa nama ‘Arifin’ lah yang menyebabkan diri saya sering sakit-sakitan alias nama tersebut tidak cocok,” kata Safi’i Kemamang.
Si kakek menyematkan nama baru pada sosok Arifin: Safi’i. Nama Safi’i juga mengandung makna filosofis karena si kakek percaya Safi’i akan menjadi manusia lurus dan benar. Adapun ‘Arifin’ sendiri bermakna bijaksana.
“Jadi, menurut kakek bahwa sebelum seseorang bisa bersikap arif atau bijaksana maka terlebih dahulu harus safi atau sofi atau lurus (benar),” kata Safi’i Kemamang.
Safi’i lahir dari keluarga petani miskin. Kakek, nenek, bapak, ibu dan anggota keluarga yang lain adalah para petani. Nama bapak nya adalah Mustofa (almarhum) dan ibu adalah Siti Karmiati (masih hidup, tapi sudah tua).
Safi’i hanya memiliki satu saudara kandung, yakni kakak perempuan. “Kami hanya 2 bersaudara,” sambungnya. Ia menulis lagu "Pembebasan" di Surabaya pada akhir tahun 1996. Setelah beres menulis lirik lagu, ia mulai mengajarkan ke kawan-kawan seperjuangan pada 1997.
“Judul asli dari lagu yang lebih popular dengan istilah Buruh Tani tersebut adalah Pembebasan. Benar bahwa saya yang menciptakan,” kata Safi’i Kemanang.
Saat lagu ini dibuat, situasi ekonomi dan politik nasional sudah mulai kacau. Pada tahun 1996 terjadi sebuah peristiwa berupa tragedi politik besar yang dikenal dengan istilah “KUDATULI” atau Kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta. Tragedi yang dipicu oleh pengambilalihan kantor pusat PDI (Partai Demokrasi Indonesia) pimpinan Megawati Soekarnoputri oleh PDI yang dipimpin oleh Soerjadi (didukung oleh pihak rezim).
Dampak dari peristiwa tersebut, maka yang dijadikan kambing hitam adalah PRD (Partai Rakyat Demokratik). Sejak saat itu, kata Safi’i, PRD dinyatakan sebagai partai terlarang dan kader serta anggotanya mulai diburu, ditangkap dan diculik.
“Rezim Orde Baru juga menyebut PRD sebagai partai politik reinkarnasi dari PKI (Partai Komunis Indonesia),” Safi’i melanjutkan.
Dalam menghadapi situasi represif tersebut, Safi’i berpikiran bahwa perjuangan pembebasan rakyat dari kedikdatoran rezim orde baru akan berlangsung lama, panjang dan melelahkan. Karena itu, ia merasa butuh sebuah penyemangat. Safi;i percara pengobar semangat ini bernama musik.
“Bahwasannya, perjuangan politik tanpa seni musik akan terasa garing atau hambar. Saya juga menyadari bahwa Soeharto tidaklah seorang sosok Presiden yang berdiri sendiri. Sebagai Presiden, Soeharto adalah aktor utama didirikannya sistem orde baru, dimana ciri dari sistem orde baru adalah militeristik-kapitalistik,” kata Safi’i.
Dengan demikian, Soeharto sangat berkaitan dengan kekuatan yang lain, yakni kekuatan militer dan kekuatan kapital atau modal ,baik di dalam negeri dan luar negeri.
Untuk menghadapi dan melawan kekuatan itu, Safi’i yakin satu-satunya solusi adalah PERSATUAN NASIONAL ANTAR RAKYAT TERTINDAS, yakni persatuan antara buruh, tani, mahasiswa dan kaum miskin perkotaan (kota).
“Mengapa mereka (buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota) harus bersatu? Karena golongan inilah yang menjadi korban nyata dari kebijakan dan kekuasaan orde baru,” kata Safi’i.
Pada saat itu, ia berpikiran bahwa butuh dibuatnya garis penghubung yang jelas antara semangat, persatuan dan aksi.
Dengan demikian rakyat yang melawan tetap mampu menjaga komitmen dan konsistensi dari perjuangan yang sedang dilakukan. Dan, salah satu instrumen menjaga garis komitmen serta konsistensi perjuangan, maka dibutuhkansebuah seni musik atau lirik-lirik lagu yang bernuansa dan bernafaskan perjuangan.
Inilah alasan yang mendasari Safi'i ketika menciptakan lirik lagu Pembebasan. Ketika lirik pembebasan dibuat, ia dalam posisi klandestin atau bergerak di bawah tanah.
"Karena itu, tidak ada kawan yang membantunya. Saya juga tidak memiliki latar belakang bermain musik. Saya baru mulai belajar bermain gitar saat duduk dibangku STM (Sekolah Teknologi Menengah),” kata Safi’i. (Diananta)
BERSAMBUNG
Sumber: banjarhits.com