Paman Birin - Tahun Baru Islam - Banjarhits

Ganti Peran Menggarap Lahan Cagar Alam

Perkebunan sawit milik masyarakat dalam cagar alam di Desa Sangking Baru, Kabupaten Kotabaru pada 28 November 2023. Foto: Diananta P. Sumedi
Pemerintah memberikan pengampunan kepada perusahaan sawit yang sudah merambah hutan secara ilegal. Tempo bersama RiauTerkini.com, IniBorneo.com, dan BanjarHits.co yang merupakan mitra Teras.id melakukan liputan bersama di empat provinsi untuk mengungkap kebijakan tersebut. Liputan ini mendapat bantuan/dukungan Pulitzer Center Rainforest Journalism Fund.

Tangan Haji Abdullah sibuk mengayunkan parang ke batang-batang pohon pisang yang tumbuh di ujung batas perkebunan sawit PT Sinar Kencana Inti Perkasa Sungai Kupang Estate, Desa Sangking Baru, Kecamatan Kelumpang Selatan, Kabupaten Kotabaru. Pagi itu, Selasa 28 November tahun lalu, ia bersih-bersih lahan yang hendak ditanami bibit sawit. Pria transmigran asal Lamongan, Jawa Timur, ini sudah membeli puluhan bibit sawit siap tanam seharga Rp 45 ribu per bibit.

Lokasi Abdullah bekerja persis bersanding dengan kelok-kelok sekat kenal yang mengiris lahan menjadi dua sisi: HGU PT SKIP Sungai Kupang Estate (SKPE) dan Cagar Alam Teluk Kelumpang. Abdullah sadar lahan garapannya masuk cagar alam dan tanpa sertifikat. Menurut dia, ada ratusan hektare lahan cagar alam eks hak guna usaha (HGU) yang dimiliki masyarakat setempat.

Satu-satunya alas hak cuma surat keterangan rukun tetangga. Ia menggarap lahan cagar alam karena dibolehkan masyarakat. “Enggak ada sertifikatnya. Belum dikerjakan, tapi sudah dimiliki orang, banyak biayanya. Kalau enggak mampu menggarap ya digantikan, biayanya besar itu,” kata Abdullah yang mengklaim menguasai lahan sejak 2014.

Pengerjaan lahan setelah ia mengganti hak pengelolaan dari beberapa penduduk lokal dengan mahar Rp 8-9 juta per hektare. Maklum, Abdullah tidak menerima lahan gratis karena seorang pendatang. Toh, pemilik toko kelontong, itu kini mengempit 14 hektare lahan cagar alam. Dua hektare lahan atas nama Abdullah sendiri, dan sisanya diatanamakan anak-anaknya.

Sebelum digarap Abdullah dan masyarakat, lahan cagar alam ini lebih dulu ditanami sawit oleh PT SKIP Sungai Kupang Estate. Perusahaan menebangi kebun sawit itu pada 2013-2014 karena terindikasi masuk Cagar Alam Teluk Kelumpang. Begitu lahan lowong, masyarakat kepincut menggantikan peran SKIP atas pengelolaan lahan tersebut.

Namun, SKIP tak tinggal diam. Pegawai SKIP bolak-balik menebangi bibit sawit yang ditanami masyarakat. Baru belakangan ini, kata Abdullah, masyarakat menanam bibit sawit lagi.

Tim mengirim tiga titik koordinat kepada Arifuddin, Kepala Seksi Pengukuhan dan Penggunaan Kawasan Hutan pada Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan, untuk memastikan status lahan. Ketiga titik itu di Desa Sangking Baru, Kecamatan Kelumpang Selatan: Lat -3.0273750 Long 116.1122320, Lat -3.0301070 Long 116.1122780, Lat -3.0262580 Long 116.1121850.

Atas analisa peta dari tiga titik ini, ia memastikan kawasan itu masih berstatus bagian Cagar Alam Kelautku karena belum ada perubahan warna peta.

"Selama peta kawasan tidak berubah putih, tetap kawasan hutan. Cagar alam warna ungu," tutur Arifudin.

Untuk menguatkan analisa, ia mengacu peta kawasan hutan terbaru per April 2023, dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6629 Tahun 2022 tentang Data Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan.

Cagar Alam Teluk Kelumpang – Selat Laut – Selat Sebuku (Kelautku) ditunjuk pertama kali oleh Menteri Pertanian lewat Surat Keputusan Nomor 827/Kpts/Um/9/1981 bertarikh 24 September 1981. Saat itu, cagar alam ini seluas 66.500 hektare sebagai kawasan hutan dengan fungsi cagar alam. Pada 2009, Menteri Kehutanan menunjuk lagi cagar alam ini lewat SK Nomor 435/Menhut-II/2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan.

Empat tahun setelah 2009, luas Cagar Alam Kelautku menyusut jadi 58.227 hektare karena sebagian lahan beralih fungsi ke hutan produksi. Adapun pada 2019, 1.239 hektare lahan cagar alam beralih fungsi jadi Taman Wisata Alam Pulau Burung dan Pulau Sewangi. CA Kelautku kini seluas 56.988 hektare.

Dalam buku laporan berjudul Sawit Ilegal Dalam Kawasan Hutan: Karpet Merah Oligarki, Greenpeace Indonesia mendapati 4.567 hektare kebun sawit merambah Cagar Alam Teluk Kelumpang - Selat Laut - Selat Sebuku di Kalimantan Selatan. Perusahaan perkebunan menguasai 3.896 hektare, dan sisanya kebun sawit swadaya masyarakat.

Asal-usul masyarakat menggarap lahan cagar alam bermula dari pembentukan Tim 11 yang bertugas membagikan lahan HGU peninggalan SKIP untuk warga lokal Desa Sangking Baru. Masyarakat mendapuk Zulkifli Sabri sebagai Ketua Tim 11. Surat berita acara kesepakatan Tim 11 soal penyelesaian pembagian lahan diteken pada 2015.

Ditemui tim Pulitzer Center di Desa Sangking Baru, Zulkifli Sabri membenarkan pembagian lahan cagar alam eks HGU PT SKIP Sungai Kupang Estate. Pembagian lahan cagar alam setelah konsultasi beberapa pihak. Menurut Ikif—sapaan Zukifli Sabri— jatah pembagian lahan mengacu status sosial: janda kebagian 1,5 hektare, bujangan 0,5 hektare, dan setiap kepala keluarga menerima 3 hektare. 

Kalaupun ada warga pendatang dan transmigran ingin menggarap lahan itu, ia menyerahkan kepada setiap penerima lahan apakah ingin mengalihkan hak garapan atau tidak. Namun, menurut Ikif, konsepnya bukan jual-beli lahan karena dilarang. Melainkan mengganti hak pengelolaan, seperti Abdullah. “Bukan jual beli,” tutur Ikif.

Masyarakat menggarap kebun sawit di Desa Sangking Baru, Kabupaten Kotabaru pada 28 November 2023. Foto: Diananta P. Sumedi

“Kalau pribadi kita ingin nanam. Lahan itu pernah digarap oleh SKPE, tapi ditebang sebelum replanting. Kalau lahan itu nganggur, masyarakat kepingin lah, jangan jadi penonton. Semuanya 277 hektare,” kata Ikif yang belum menanami lahan miliknya.

Ia mengakui belum ada alas hak resmi atas pembagian tanah cagar alam. Alhasil, Ikif tak keberatan kalaupun 277 hektare lahan sawit masyarakat itu diambil lagi oleh pemerintah. “Apabila suatu saat dibutuhkan negara, siap sedia menyerahkan kembali,” ucap Ikif.

Kepala Desa Sangking Baru, Asrul Pani, mengatakan pembagian lahan ratusan hektare itu sebelum ia menjabat kepala desa pada 2016. Asrul memastikan pemerintah desa tidak pernah menerbitkan alas hak atas penggarapan lahan cagar alam bekas HGU PT SKIP.

“Dari desa tidak berani membikinkan (alas hak) karena cagar alam. Kalau masyarakat menggawi, ya digawi. Enggak memiliki juga, hak pinjam lah,” ujar Asrul Pani. 

Dokumen yang dikutip dari laporan penilaian PT Mutuagung Lestari atas sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil PT SKIP, menyebut bahwa lahan Sungai Kupang Estate (SKPE) seluas 5,196.11 hektar. Sebagian lahan SKPE mulai ditanami sawit sejak tahun 1992. Kawasan PT SKIP semula merupakan kawasan hutan yang dilepas. Namun mengacu peta overlay PT SKIP dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi 2015-2035 dan Peta Peruntukan Nomor Kawasan 453/Menhut-II/2009, sebagian wilayah hukum PT SKIP berada dalam kawasan cagar alam.

Di luar lahan bekas HGU PT SKIP, kata Abdullah, sebagian masyarakat telah menanami sawit dalam cagar alam Teluk Kelumpang. Telunjuk tangan Abdullah mengarah ke hamparan pohon-pohon sawit yang tegak berdiri setinggi 8-10 meter, bersisian dengan bekas lahan HGU PT SKIP SKPE.

“Di sini tidak ada tanah yang sertifikat, di sana ribuan hektare, yang sudah berbuah-buah itu. Semua itu CA tapi ditanami sawit, ribuan hektar, bukan ratusan hektar,” katanya menunjuk rimbun kebun sawit rakyat.

Namun, Abdullah tidak tahu sosok pemilik kebun tersebut. Penelusuran tim Pulitzer Center, pohon-pohon sawit setinggi puluhan meter, itu salah satunya dimiliki oleh Kambali, seorang transmigran asal Jepara, Jawa Tengah. Kambali sudah menanam sawit di sana sejak tahun 2010-an. Ia pun bolak-balik panen atas lahan sawit seluas enam hektare tersebut.

Kambali menjual buah sawitnya ke sejumlah pabrik pengolahan crude palm oil (CPO) berdasarkan harga terbaik. Satu di antaranya pabrik milik PT SKIP Sungai Kupang Estate. Adapun harga buah sawit fluktuatif. Ia pernah menjual buah sawit dengan harga di bawah Rp 1.000 per kilogram, dan paling tinggi pernah melego Rp 3.300 per kilogram.

“Semua pabrik menerima, seperti Sinas Mas, dan banyak lagi. Saat ini harganya Rp 2.700 per kilogram,” tuturnya.

“Yang tuan-tuannya itu ada yang 30 hektare, ada 20 hektare. Saya termasuk masih sedang-sedang,” kata Kambali, yang menanam sawit atas dasar surat keterangan tanah dari Pemerintah Desa Sangking Baru. “Warga banyak tanam di situ.”

Sebelum menanam sawit dalam cagar alam, Kambali lebih dulu mengganti pengelolaan tanah dari masyarakat lokal setempat. Kambali menolak disebut membeli lahan itu karena cagar alam tidak boleh diperjualbelikan. “Infonya cagar alam tidak boleh diperjualbelikan,” lanjut Kambali sambil terkekeh.

Kepala Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Cantung pada Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan, Fajar Noor, mengatakan pihaknya telah menyosialisasikan ketelanjuran penanaman sawit dalam kawasan hutan ke masyarakat Desa Sangking Baru dan Desa Bumiasih atau SP 5. Menurut Fajar, lahan sawit masyarakat ini diusulkan sebagai perhutanan sosial melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). 


Fajar bilang perhutanan sosial sebagai solusi atas keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan. Adapun skema perhutanan sosial adalah satu kali daur atau selama 25 tahun. Sejak sosialisasi pemutihan sawit pada 2022 lalu, KPH Cantung baru mendengar satu kelompok masyarakat yang mengusulkan perhutanan sosial.

“Diharapkan bikin kelompok perhutanan sosial, kami menindaklanjuti supaya tidak ada persoalan. Hak kelola satu kali daur. Perhutanan sosial ini solusi atas keterlanjuran, daripada perusahaan yang mengerjakan,” tutur Fajar Noor.

Namun, baik Asrul Pani, Ikif, Kambali, dan Abdullah, tidak tahu atas program percepatan penyelesaian keterlanjuran kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit sesuai UU Cipta Kerja. Padahal, Ikif dan warga setempat berharap lahan itu bisa mendatangkan manfaat kesejahteraan penduduk lokal. “Belum tahu,” lanjut Ikif.

Kambali menguatkan kesaksian Ikif. Setahu Kambali, belum ada sosialisasi atas solusi ketelanjuran kebun sawit masyarakat dalam kawasan hutan. “Memang belum ada sosialiasi atau saya yang tidak tahu,” lanjut Kambali.

Atas temuan ini, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan V Banjarbaru, M Firman Fahada, mengatakan ada kemungkinan penyelesaian skema kemitraan konservasi setelah mendapat rekomendasi ijin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) asalkan di hutan produksi. Menurut dia, lahan sawit masyarakat dalam posisi tidak berijin, sehingga diselesaikan lewat pasal 110 B. ”Tapi di kawasan konservasi juga tidak bisa dilepaskan,” kata Firman.

Anita Neville, Chief Sustainability and Communication Officer Sinar Mas Agribusiness and Food, berkata perusahaan mendukung inisiatif pemerintah yang bertujuan meningkatkan keberlanjutan industri kelapa sawit. Pihaknya mendukung langkah-langkah peraturan dan secara aktif terlibat memberikan informasi yang diminta dan dokumen yang dibutuhkan.

“Kami akan menunggu arahan lebih lanjut dari pemerintah dan berkomitmen mematuhi peraturan tersebut,” jawab Anita lewat pesan WhatsApp atas sejumlah temuan tim Pulitzer Center pada 14 Desember 2023. 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat ada 3,37 juta hektare kebun sawit masuk kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Dari angka itu, seluas 1,67 juta hektare terindikasi milik korporasi sawit swasta. Luasan ini terhitung sejak 2019, pasca terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

“Sisanya memang terindikasi ada sawit yang dikelola oleh masyarakat, sebagian ada plasmanya, sebagian sawit-sawit yang dikerjakan masyarakat. Ada juga koperasinya,” tutur Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono, saat ditemui pada 31 Oktober 2023.

Menurut dia, masyarakat pemilik kebun sawit dalam kawasan hutan tanpa dikenakan denda administrasi. “Masyarakat tidak ada denda administrasi.”

Peta sebagian kebun sawit PT SKIP Sungai Kupang Estate di sekitar cagar alam di Desa Sangking Baru, Kabupaten Kotabaru. Foto: Diananta P. Sumedi

Bambang mengakui ada perkebunan sawit swasta tanpa izin pelepasan kawasan hutan dan perijinan bidang kehutanan, sehingga dikenakan denda administrasi lewat skema pasal 110 B UU Cipta Kerja. Untuk sementara, ada 200 ribuan hektare lahan sawit diselesaikan lewat pasal 110 B.

“Itulah berpeluang untuk kembali lagi kepada negara. Ini mohon izin mohon maaf, sawit tidak boleh di area perlindungan dan area konservasi. Setelah selesai, berhenti. Tetap kawasan hutan,” ucap Bambang, sambil menambahkan komitmen pemerintah memulihkan hutan lindung dan hutan konservasi dari perkebunan kelapa sawit.

Toh, masyarakat Desa Sangking Baru, berharap menerima manfaat atas perkebunan sawit dalam cagar alam tersebut. "Kalau lahan itu nganggur, masyarakat kepingin lah, jangan jadi penonton," kata Ikif. (Diananta P. Sumedi)

Lebih baru Lebih lama

Paman-Birin-Idul-Fitri-Banjarhits
Paman Birin Turdes
Iklan

نموذج الاتصال